Meski dalam suasana pandemik yang belum tentu berakhir, pesta demokrasi kembali akan digelar. Agenda utama pilkada pemilihan kepala daerah di Indonesia pada tahun 2020 yang dilaksanakan secara serentak untuk daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2021.
Sistem pemilihan kepala daerah secara serentak pada tahun 2020 merupakan yang ketiga kaÂlinya diselenggarakan di Indonesia. Pelaksanaan pemungutan suara direncanakan digelar secara seÂrentak pada 9Â Desember2020.
Total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah seÂrentak tahun 2020 sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Pesta demokrasi tersebut sebagai manipestasi amanat UUD NRI BAB VI Pasal 18 (4): “Gubernur, BuÂpati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratisâ€�, Juncto Bab VIIB Pasal 22E dan Implementasi Undang-Undang ReÂpublik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UnÂdaÂng-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 TaÂhun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan pelaksanaan Peraturan Komisi PemuÂliÂhan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2020
Menarik untuk dijelaskan setelah lebih dua dekade pasca reformasi dan Indonesia menikmati euÂphoria demokrasi dengan empat kali pemilu lansung (2004, 2009, 2014, dan 2019).
Belum ada keÂrangÂka kerja evaluasi (evaluation framework) demokrasi dan kelembagaan yang benar-benar inÂdeÂpenÂden dan efektif melakukan analisis kualitas dan indeks pesta demokrasi.
Evaluasi dan analisis peÂmilu kerap hanya dilakukan oleh lembaga-lembaga survey yang lebih menitik beratkan peluang dan potensi elektabilitas partai, calon anggota legislatif dan atau calon kepala daerah tertentu.
SeÂhingga belum ada simpulan atau rekomendasi ilmiah sebagai teori besar (grand theory) yang menÂjadi dasar sebagai bahan evaluasi menyelenggarakan pemilu pada masa-masa yang akan daÂtang.
Secara harfiyah dalam KBBI daring, disebutkan arti asimetris/asi·met·ris//asimétris/atidak seÂtaÂngÂkup; tidak simetris.
ilustrasi–Penghitungan suara pilkada Palembang dan Sumsel. (Sripoku. com /Yandi Triansyah)
Dengan kata lain, asimetris menghendaki sesuatu yang tidak setangkup aÂtau tidak seragam.Â
Pilkada asimetris yang dimaksud adalah sistem yang memungkinkan adanya perÂÂbeÂdaan pelaksanaan mekanisme pilkada antar daerah.
Perbedaan tersebut dapat terjadi karena suatu daerah memiliki karakteristik tertentu seperti kekhususan dalam aspek administrasi, budaya aÂÂtaupun aspek strategis lainnya.Â
Mungkinkah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melakÂsaÂnakan pemilu dengan mekanisme dan teknik yang berbeda antara satu daerah dengan yang laÂinÂnya.
Dari sudut pandang konstitusi (UUD NRI 1945), materi muatan pada Pasal 18 Ayat (4) yang berÂbuÂnyi: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah proÂvinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratisâ€�.Â
Menurut Ridwan Mukti (2013), frasa “diÂpiÂlih secara demokratisâ€� pada pada Pasal 18 tersebut mengandung makna, bahwa rekruitmen kepala daeÂrah bisa dipilih dengan sistem langsung dan bisa pula dengan sistem perwakilan, yang penting aÂdalah demokratis.
Pilihan hukum pemilihan sistem langsung atau perwakilan diserahkan oleh konÂstitusi untuk diatur oleh Undang-Undang.
Bahkan, pada Ayat berikutnya (6) disebutkan: “PeÂmeÂrinÂÂtahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melakÂsanakan otonomi dan tugas pembantuanâ€�.Â
Dengan kata lain, penerapan desentralisasi pemeÂrinÂtahan yang diwujudkan sebagai pemerintahan daerah dengan asas otonomi daerah sesungguhnya memÂberikan peluang bahwa pemilihan kepala daerah secara demokratis dapat dilaksanakan dalam keÂrangka “Kebhinekaanâ€� yang bisa jadi berbeda antara satu daerah dan yang lainnya.
Pada materi muatan batang tubuh konstitusi berikutnya yaitu Pasal 18B juga disebutkan;
 “(1) NeÂgaÂra mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau berÂsifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati keÂsaÂtuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undangâ€�.Â
Artinya secara antropologi, sistem hukum nasional telah meÂngÂarah pada pengakuan eksistensi pluralisme hukum yang sejalan dengan kekayaan khazanah budaya maÂsyarakat Indonesia yang sangat beragam.
Namun berbagai produk Undang-Undang dan aturan hukum lainnya seperti Peraturan Komisi PeÂmiÂlihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2020 yang menjadi landasan operasional Pilkada 2020 beÂlum mengakomodasi teori pemilu asimetris pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara khuÂsus.Â
Menteri Dalam NegeriTito Karnavianpada 18 Novenber 2019 dalam rapat bersama Komite I DPD di Kompleks Parlemen, Senayan mengaku tengah mengkaji opsi atas evaluasi pemilihan keÂpala daerah atau Pilkada langsung.
Opsi-opsi yang disebut Tito antara lain; tetap dilakukan PilÂkada langsung dengan meminimalisasi efek negatifnya, Pilkada kembali ke DPRD, atau Pilkada aÂsimetris.
Sesungguhnya pilkada asimetris sudah pernah diberlakukan selama ini sebagaimana terÂjadi pada penetapan Kepala Daerah Istimewa Yogjakarta yang dijabat oleh Sultan Hamengku BuÂwoÂno dan Wakil Gubernur dijabat Adipati Paku Alam.
Esensi Demokrasi pada Pilkada
Joseph Scumpeter (1942), seorang pemikir Jerman berkebangsaan Amerika mengatakan Pemilu seÂbagai salah satu pilar utama demokrasi merupakan konsep modern yang harus dipilih.
PenyeÂlengÂgaÂraan Pemilihan Umum yang bebas dan berkala menjadi kriteria utama bagi sebuah sistem politik aÂgar dapat disebut sebagai sebuah demokrasi.
Pemilu secara berkala periodik merupakan suatu keÂbuÂtuhan mutlak sebagai sarana demokrasi yang menjadikan kedaulatan rakyat sebagai sumber keÂhidupan bernegara.
Proses kedaulatan rakyat yang diawali dengan pemilu akan memberikan leÂgiÂtiÂmasi, legalitas,dan kredibilitas pemerintahan yang didukung oleh rakyat.
Teori demokrasi SchumÂpeter dirumuskan sebagai prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan komÂpeÂtitif dalam rangka meraih simpati dan memperoleh suara rakyat (one man one vote) dengan seÂmangat suara rakyat suara Tuhan (vox populi vox ‘dei).Â
Konsep Schumpeter mendominasi teorisasi deÂmokrasi sejak tahun 1970-an, serta mewarnai pemikiran para ilmuwan politik seperti Di Palma, Robert Dahl, Przeworski, Samuel P Huntington, sampai dengan ilmuwan transitologis Diamond, Linz dan Lipset. Corak teori Scumpeterian misalnya nampak dari gagasan Di Palma tentang demokrasi.
Di Palma mengemukakan bahwa demokrasi ada ketika gagasan koeksistensi menjadi cuÂkup menarik bagi kelompok-kelompok utama dalam masyarakat sehingga mereka bisa diajak bersepakat mengenai aturan-aturan dasar permainan politik.
Namun, teori demokrasi prosedural liberal Scumpeterian yang lebih menekankan dimensi politik (demokrasi politik), mendapatkan kritik dari berbagai kalangan yang mengusung demokrasi sosial, terÂuÂtama penganut Marxisme.
Bagi Marxisme, demokrasi tidak hanya menyangkut dimensi perÂsaÂmaÂan dan kebebasan melainkan mengandung di dalamnya juga konsep keadilan sosial.
Dalam panÂdangan Marxisme, demokrasi yang sesunguhnya tidak terwujud ketika kaum marginal (buruh) haÂnya diberi kebebasan politik namun secara struktural mereka tetap berada dalam struktur peninÂdasÂan (eksploitasi) yang dilakukan oleh kelas kapitalis.Â
Tidak ada hubungan Patron-Klien, tidak ada goÂlongan Borjuis dan Proletar dalam demokrasi sosial.Â
Oleh karena itu, demokrasi politik hanyalah deÂmokrasi semu yang membawa mimpi indah namun tidak berhasil mencapai tujuan demokrasi yaitu kesejahteraan sosial.
Persoalan ketidakadilan sosial (ekonomi) inilah yang kemudian menimÂbulÂkan paradoks demokrasi di berbagai negara yang telah berhasil menerapkan konsep demokrasi miÂnimalis.
Misalnya: munculnya gerakan Zapatista di Mexico pasca transisi dari rezim otoriter.
Demokrasi dalam Pilkada tentu sangat diharapkan sebagai demokrasi sosial yang menjadikan rakÂyat sebagai “Subjek Demokrasiâ€� dengan cara yang sesuai dengan norma sosial dan mencapai keÂseÂjahÂteraan mereka.
Tidak hanya sekedar demokrasi prosedural formalistik yang diseragamkan deÂngan menghadiri kotak suara untuk melakukan pencoblosan.
Pilkada Asimetris dapat menjadi salah satu indikator demokrasi yang lebih sehat ketika kedaulatan rakyat melalui kearifan local (local wisdom) mendapatkan tempat dalam proses demokrasi.
Pilkada AÂsimetris berpotensi meminimalkan intervensi kekuatan politik pusat ke daerah yang secara tegas telah menerapkan otonomi daerah.
Pilkada Asimetris menjadi lebih penting “dipertimbangkanâ€� ketika dunia dihadapkan pada pandemik yang mengubah sendi-sendi kehidupan terutama dalam keÂhiÂÂdupan politik.
Saatnya, kemendagri mendorong terjadinya demokrasi yang plural sesuai dengan kondisi daeÂrahÂnya masing-masing.
Tujuan demokrasi sosial tercapai dan keragaman budaya tetap terpelihara daÂlam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Artikel ini telah tayang di sripoku.com dengan judul Mempertimbangkan Pemilu Asimetris Pada Pilkada 2020, https://palembang.tribunnews.com/2020/09/23/mempertimbangkan-pemilu-asimetris-pada-pilkada-2020?page=all.
Editor: Salman Rasyidin